PERTANYAAN :
Assalamu’alaikum. Kenapa Tahun Baru Islam (Muharram) diambil dari kata Larangan mohon pencerahannya, terimakasih. [ سمرلن مللن ].
JAWABAN :
Wa’alaikumus salam. Begitu mulianya bulan muharram sampai Nabi menyebutnya sebagai Syahrullah (bulan Allah), lafadz Muharram bukan bermakana yang dilarang atau yang diharamkan namun bermakna yang di muliakan.
فْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ
“Seutama-utama puasa setelah Ramadlan ialah puasa di bulan Allah yakni bulan Muharram, dan seutama-utama shalat sesudah shalat fardlu, ialah shalat malam” (HR. Muslim).
Mengapa bulan suci ini dinamai Muharram? Ada dua pendapat yang menjelaskan alasan penamaan bulan ini :
Pertama, dinamakan Muharram dari kata haram yang maknanya adalah larangan, sebagai penegasan terhadap keharaman berperang di bulan ini. Karena dahulu orang-orang Arab mengubah-ubah urutan bulan ini, mereka menghalalkan perang pada suatu tahun kemudian mengharamkan pada tahun berikutnya.
Kedua, dinamakan Muharram karena bulan ini termasuk salah satu dari empat asyhur al hurum (Bulan-bulan haram) yang disinggung dalam surat At Taubah ayat 36 di atas. Imam Ibnu Katsir –rahimahullah– menyatakan,
ذَكَرَ الشَّيْخُ عَلَمُ الدِّينِ السَّخَاوِيُّ فِي جُزْءٍ جَمَعَهُ سَمَّاهُ «الْمَشْهُورُ فِي أَسْمَاءِ الْأَيَّامِ وَالشُّهُورِ » أَنَّ الْمُحَرَّمَ سُمِّيَ بِذَلِكَ لِكَوْنِهِ شَهْرًا مُحَرَّمًا، وَعِنْدِي أَنَّهُ سُمِّيَ بِذَلِكَ تَأْكِيدًا لِتَحْرِيمِهِ ؛ لِأَنَّ الْعَرَبَ كَانَتْ تَتَقَلَّبُ بِهِ فَتُحِلُّهُ عَامًا وَتُحَرِّمُهُ عَامًا .
“Syaikh Alamuddin As Sakhowi menyebutkan dalam salah satu jilid karya yang beliau kumpulkan, yang beliau beri judul al masyhur fi asma-i al ayyam wa asy-syuhur, bahwa dinamakan Muharram karena bulan ini termasuk bulan haram. Adapun menurutku, dinamai Muharom sebagai penekanan terhadap keharaman berperang di bulan tersebut. Karena kaum Arab dahulu mengubah-ubah urutan bulan ini, mereka menghalalkan perang di suatu tahun lalu mengharamkan di tahun berikutnya” (Tafsir Ibnu Katsir 4/146).
قال السيوطي في " شرح سنن النسائي " ( 1613 ) :
قَالَ الْحَافِظ أَبُو الْفَضْل الْعِرَاقِيّ فِي شَرْح التِّرْمِذِيّ : مَا الْحِكْمَة فِي تَسْمِيَة الْمُحَرَّم شَهْر اللَّه وَالشُّهُور كُلّهَا لِلَّهِ ؟!
يَحْتَمِل أَنْ يُقَال : إِنَّهُ لَمَّا كَانَ مِنْ الْأَشْهُر الْحُرُم الَّتِي حَرَّمَ اللَّه فِيهَا الْقِتَال, وَكَانَ أَوَّل شُهُور السَّنَة أُضِيفَ إِلَيْهِ إِضَافَة تَخْصِيص وَلَمْ يَصِحّ إِضَافَة شَهْر مِنْ الشُّهُور إِلَى اللَّه –تَعَالَى- عَنْ النَّبِيّ -صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- إِلَّا شَهْر اللَّه الْمُحَرَّم . اهـ
[@santrialit]
LINK ASAL :