Dalam Al Quran disebutkan bahwa dalam diri Nabi Muhammad SAW terdapat suri tauladan yang baik. Artinya, jika seseorang ingin mencapai keridoan ALLOH, maka standar tingkah laku dan perbuatan itu adalah dengan mengikuti cara bertingkah laku dan perbuatan beliau SAW. Apa yang di Firmankan ALLOH dalam Al Quran dan apa yang disabdakan Rosululloh melalui hadits haditsnya adalah rujukan manusia dalam menyandarkan hukum berkehidupan. Selain itu maka tidak ada jaminan ridho ALLOH SWT.
Ketika para sahabat mengusulkan kenaikan gaji Umar bin Khotob sebagai khalifah , beliau marah. Bahkan mengancam akan memukul orang yang mengusulkan kenaikan gaji tersebut. Lalu beliau berkata ,” Manusia itu ibarat para musafir. Dan dua orang pendahuluku yaitu Rosululloh dan Abu Bakar telah sampai di tempat tujuannya. Maka apakah aku akan mengambil jalan selain jalan yang telah ditempuh kedua orang pendahuluku ?”
Demikianlah para ulama jaman dulu, begitu teguhnya mereka memegang ajaran ajaran Rosululloh. Sedikitpun mereka tidak mau keluar dari alur kehidupan seperti kehidupan yang dicontohkan Rosululloh.
Tapi sekarang, yang terjadi adalah, para ulama berlomba menetapkan aturan aturan sendiri, yang kadang keluar dari aturan yang telah ditetapkan Nabi. Bahkan dengan berani mereka mengabaikan keterangan keterangan yang ada dalam Al Quran, dengan alasan Zaman telah berubah. Mereka pura pura tidak tahu bahwa Zaman boleh saja berubah, tetapi Al Quran dan Assunah tidak akan pernah berubah walau sampai kiamat.
Salah satu perbuatan Rosululloh yang sudah tidak diikuti oleh kebanyakan para ulama akhir zaman, adalah dakwah dengan menerima bahkan meminta imbalan dari manusia. Bahkan banyak kelompok kelompok agama yang sering dengan mudah membidahkan orang lain, tapi dalam urusan bayaran dalam berdakwah ini, mereka tidak berani membidahkan dirinya sendiri.
Sesungguhnya topik ini sudah lama menjadi pembahasan para ulama. Dan hingga kini belum juga menemui titik temu. Ada kelompok ulama yang berpendapat boleh menerima, meminta bahkan menentukan bayaran dalam berdakwah, ada yang melarangnya. Masing- masing kelompok mendasarkan pada dalil- dalil yang mereka anggap sah dijadikan dasar hukum untuk memperkuat pendapatnya.
Sebetulnya mudah saja kalau para pembahas itu mau jujur dan ikhlas terhadap diri dan keilmuanya, bahwa sesungguhnya Nabi dan para sahabat tidak pernah menerima bayaran atas dakwahnya. Maka, kalau memang para ulama tersebut itu adalah pewaris Nabi, ikuti saja seperti cara Nabi berdakwah.Tetapi ternyata persoalannya tidak sesederhana itu. Karena banyak ulama yang tidak menjadi pewaris Nabi. Selain itu urusan dunia dan kemapanan ikut dilibatkan dalam urusan dakwah ini. Tidak heran jika mereka mendapat bayaran jutaan, bahkan ada yang pasang tarif hingga puluhan juta rupiah.
Bagi mereka yang mendukung pendakwah menerima upah, berpendapat bahwa :
1. Kalau tidak dibayar, dimasa datang tidak ada lagi orang yang mau berdakwah, lalu siapa yang akan menyampaikan ajaran agama?
2. Karena sibuk berdakwah, mereka tidak punya waktu lagi untuk mencari nafkah. Maka bayaran itu dianggap pantas untuk menjadi pengganti waktu mencari nafkah.
3. Berdakwah/ ceramah perlu transportasi, maka bayaran itu dianggap sebagai pengganti transportasi.
4. Ada yang mengibaratkan seperti pergi ke sawah, kalau menemukan belut maka boleh diambil. Artinya boleh menerima asal tidak meminta
5. Ada yang beranggapan bahwa untuk sekolah agama, IAIN misalnya, memerlukan banyak biaya. Jadi sudah sepantasnya dai dibayar.
6. Ada Ustad dari lembaga pendidikan terkenal mengatakan bahwa untuk kepentingan yang lebih besar, tidak apa apa ceramah agama dibayar.
7. Ada pendapat yang mengatakan, ustadz menerima bayaran agar bisa disedekahkan lagi ketempat lain yang membutuhkan.
8. Bahkan ada yang membandingkan dengan artis. Mereka berpendapat artis saja dibayar mahal, masak Dai yang memberi pencerahan dunia dan akhirat dibayar sekedarnya. Ini bagi mereka yang pasang tarif hingga jutaan hingga puluhan juta rupiah.
Dasar yang digunakan kelompok ini adalah sabda Nabi :
إن ﺃ ﺤﻕ ﻤﺎ ﺃ ﺨﺫ ﺘﻡ ﻋﻠﻴﻪ ﺃ ﺠﺭﺍ ﻜﺘﺎ ﺏ ﺍﻠﻠﻪ
Yang ditafsirkan ,” Sesungguhnya yang paling haq/ benar kamu ambil pahala atasnya adalah kitabulloh,” (HR. Bukhari).
Kemudian ada riwayat yang menyebutkan bahwa pada zaman Rasululloh, ada seseorang yang menikah dengan mahar mengajarkan Al-Quran kepada istrinya, sesuai hadits,” Aku telah menikahkan kalian dengan mahar hafalan Quranmu”. Disamping itu pada riwayat lain menyebutkan, bahwa pasca perang Badar, Nabi SAW menawarkan kepada kaum musyrikin yang ditawan, boleh menebus pembebasan dirinya dengan cara mengajarkan baca tulis kepada 10 orang kaum muslimin.
Kemudian ada riwayat yang menyebutkan bahwa pada zaman Rasululloh, ada seseorang yang menikah dengan mahar mengajarkan Al-Quran kepada istrinya, sesuai hadits,” Aku telah menikahkan kalian dengan mahar hafalan Quranmu”. Disamping itu pada riwayat lain menyebutkan, bahwa pasca perang Badar, Nabi SAW menawarkan kepada kaum musyrikin yang ditawan, boleh menebus pembebasan dirinya dengan cara mengajarkan baca tulis kepada 10 orang kaum muslimin.
Kalau kita telaah, alasan alasan tersebut diatas terlalu bersifat duniawi. Hanya berdasarkan kepentingan diri sendiri. Mereka lupa, bahwa Islam bisa menyebar ke seluruh dunia berawal dari dakwah gratisan. Dakwah yang tidak dibayar. Dakwah yang hanya berdasarkan iman dan keikhlasan. Pada masa itu, belum ada sekolah sekolah Islam yang megah dan mahal-mahal seperti sekarang, yang membuat orang-orang Islam miskin tidak mampu bersekolah. Belum ada multi media dan fasilitas telekomunikasi yang digunakan sebagai sarana oleh para kiai, ustad, dai untuk menyampaikan dakwahnya. Tapi nyatanya Islam tetap menyebar keseluruh dunia dengan massif. Karena sesungguhnya ALLOH lah yang menyebarkannya. ALLOH meridloi penyebar- penyebar Islam dimasa Rasulullah dan para sahabat, yang berjuang tanpa mengharap pamrih. Hasilnya, Masyarakat Islam yang terbentukpun adalah masyarakat Islam yang unggulan, yang fanatik menjalankan Syareat. Bukan masyarakat Islam yang sekuler, yang hanya mengaku Islam tapi tingkah laku dan perbuatan jauh sekali dari nilai-nilai Islam seperti yang terjadi sekarang ini. Yang hanya banyak dalam jumlah, tapi kualitas ke- Islamannya tipis. Ingatlah, Islam tidak perlu banyak. Biarpun sedikit asal kokoh. Banyak contoh, jumlah yang sedikit mengalahkan yang banyak. Syukur kalau Islamnya banyak dan mereka menjalankan syareat Islam dengan sungguh- sungguh, itu lebih disukai ALLOH, dan ALLOH pun membanggakannnya.
Jadi sebetulnya tanpa dibayarpun, dengan seizin ALLOH, akan tetap ada penyebar- penyebar risalah yang bermodal niat yang ikhlas dan tulus. Contoh kecil adalah para murabi yang membimbing umat dalam halaqoh- halaqoh tarbiyah. Mereka tidak dibayar sepeserpun. Majelis- majelis dakwah seperti inilah yang insya ALLOH diridloi-Nya. Bukan majelis- majelis yang seolah olah majelis tolabul ilmu, tetapi yang sesungguhnya adalah sarana untuk mencari imbalan materi. Karena hal ini tidak sesuai dengan yang diperintahkan Al-Quran dan dicontohkan oleh Nabi.
Dan jangan dilupakan, janganlah kita bersikap seolah- olah ALLOH membutuhkan dakwah kita. Itu salah besar. ALLOH sama sekali tidak membutuhkan dakwah kita. Kitalah sesungguhnya yang membutuhkan berdakwah untuk mencapai keridloan ALLOH. Kalaupun tidak ada lagi orang di bumi ini yang mau berdakwah, sehingga Islam tidak lagi ada dimuka bumi, kemuliaan ALLOH tidak akan pernah berkurang sedikitpun. Kemuliaan ALLOH tidak tergantung kepada makhluknya, apalagi bergantung pada manusia. Beriman atau kafirnya seseorang, tidak akan berpengaruh kepada kemuliaan ALLOH. Perhatikan firman QS. 35 (Faathir). 15-16:” Wahai manusia, kamulah yang memerlukan ALLOH, dan Dialah Yang Maha kaya ( tidak memerlukan sesuatu), Maha terpuji. Jika Dia menghendaki, niscaya Dia membinasakan kamu dan mendatangkan makhluk yang baru (untuk menggantikan kamu)”.
Jika para ahli ilmu memang tidak mau berdakwah karena tidak ada bayaran, silahkan saja karena ALLOH tidak rugi apa apa. Kitalah yang rugi karena artinya mengabaikan karunia ALLOH, dan mengabaikan kewajiban, serta menantang azab ALLOH. Jadi kenapa harus khawatir tidak ada lagi yang mau berdakwah, sedangkan rahmat dan hidayah itu urusan Alloh, dan bukan urusan manusia. Jadi, tidak ada yang namanya profesi pendakwah, apalagi sampai membentuk sebuah manajemen dan memakai manajer . Karena dakwah adalah kewajiban setiap muslim dan bukan hak.
Perhatikan hadits berikut. Dari Buridah r.a. Rasululloh bersabda,” Barang siapa membaca Al-Quran, yang dengannya ia memperoleh makanan dari manusia, maka ia akan datang pada hari kiamat dengan wajah hanya berupa tulang tanpa daging,” (HR. Baihaqi, Syu’abul Iman). Jelas sekali bahwa mencari nafkah dengan berdakwah tidak diperbolehkan. Nabi SAW kurang apa dalam berdakwah. Siang dan malam beliau berdakwah. Tetapi untuk nafkah, beliau tetap berdagang. Jadi apakah itu belum cukup untuk dijadikan contoh. Ada yang beralasan, itu kan nabi kita ini hanya manusia biasa. Jangan lupa, nabi juga manusia biasa, dan beliau ada untuk menjadi contoh bagi kita agar mengikutinya.
Mengenai transportasi, itupun tidak bisa dijadikan pembenar. Karena sesungguhnya tidak ada yang mewajibkan kita berdakwah di tempat yang jauh. Justru lingkungan sekitarnyalah yang harus didakwahi, dijaga, dibimbing agar menjadi lingkungan yang Islami. ALLOH mewajibkan kita berdakwah, tidak mewajibkan kita berdakwah di tempat yang jauh. Jika masing- masing dai tersebut berdakwah dilingkungannya sendiri, menjaga dan membimbing umatnya, maka dengan sendirinya seluruh lingkungan dimuka bumi akan terjangkau oleh dakwah Islam. Jadi transportasi tidak diperlukan lagi.
Suatu riwayat dari Imran bin Husain r.a. Rasulullah bersabda,” Barang siapa membaca Al-Quran dan dia menginginkan sesuatu, maka mintalah hanya kepada ALLOH. Karena tidak lama lagi akan datang suatu kaum yang setelah membaca Al-Quran, maka mereka akan meminta minta kepada manusia.” Peringatan Rasululloh ini telah menjadi kenyataan. Ternyata kitalah kaum tersebut. Lalu, apakah kita tidak menjadi takut karenanya ? Jadi, menerima bayaran karena untuk mengembalikan biaya kuliah juga tidak bisa diterima. Kalau mau kaya, kita lebih baik bersekolah di jurusan lain. Misalnya dijurusan ekonomi, tehnik, bisnis dll.
Kalau mau mengambil jurusan agama, seharusnya sudah tahu resikonya. Dia tidak bisa menggantungkan hidup dari menjual ilmu agama. Untuk memenuhi nafkahnya, dia tetap harus ikhtiar seperti yang dicontohkan nabi. Inilah akibat harus membayar mahal dalam mempelajari ilmu agama. Pada akhirnya,lulusannya pun berfikir sama untuk mendapatkan uang dari apa yang dipelajarinya.
Saya punya teman seorang dai. Ia bercerita bahwa ada diantara teman- temannya sesama dai menjadikan dakwah sebagai bisnis. Jika ada seorang dai diundang berceramah, dan kebetulan dai yang di undang tersebut berhalangan, dia akan meminta dai yang lain menggantikannya.Tetapi dai yang diundang pertama ini akan meminta bagian dari honor yang diterima penggantinya. Hal seperti ini adalah sesuatu yang tidak terpuji dan harus dihindari oleh dai lain yang lebih mengerti.
Bahkan Khotib sholat Jumat pun harus menerima bayaran. Padahal Khutbah pada sholat Jumat adalah bagian dari rukun sholat Jumat. Sudah menjadi kewajiban orang Islam untuk melakukannya. Sama seperti kita melakukan rukun ibadah lainnya. Saya ambil contoh, kita tidak dibayar dalam melaksanakan sholat, juga tidak dibayar dalam melaksanakan puasa. Tapi untuk sholat jumat, kenapa harus dibayar dalam melaksanakan salah satu rukunnya.
Maka pantaslah jika para Kiai, Syekh, Ustad dan para dai sekarang banyak yang hidup bermewah- mewahan dan bermegah megahan. Bahkan ada yang punya Rumah mewah, Mobil Jaguar, BMW dll. Walaupun mungkin dia memiliki perusahaan pribadi, tetapi itukah yang dicontohkan Nabi ? Bukankah Nabi SAW pernah bersabda,” Jika kamu mengikuti jalanku, maka bersiap siaplah kamu miskin.” Lebih tegas lagi di firmankan ALLOH dalam QS. At Takaatsur : 1-2 ,” Kamu telah dilalaikan ( dari mengingat ALLOH ) karena bermegah- megah / bermewah- mewah. Hingga kamu masuk ke dalam kubur”. Bukan berarti Islam tidak boleh kaya. Boleh, tetapi sebagaimana halnya Nabi dan para sahabat,kekayaan itu hanya boleh digunakan di jalan ALLOH. Kita hanya boleh mengambil secukupnya, sisanya adalah untuk mencari keridloan ALLOH. Bukan untuk bersenang senang, bermewah mewah dan pamer kekayaan. Seorang pemuka agama adalah panutan umat. Jika panutan umat tidak mencontoh Nabi untuk hidup sederhana, maka siapa lagi yang akan dijadikan panutan. Maka umat pun akan berprilaku lebih konsumtif lagi. Dan budaya hubud dunia akan merajalela dalam masyarakat.
Apakah kita tidak malu dengan pendakwah- pendakwah agama lain. Para pendeta misionaris ordo Jesuit malahan rela memberikan hasil ladang yang dia garap sendiri untuk sesama manusia tanpa mengharap dapat imbalan untuk mengganti sedekahnya. Di Jawa Barat dan Jawa Tengah para pemeluk Kristen berdakwah dengan menawarkan sembako. Kebalikan dengan pendakwah- pendakwah Islam yang justru menerima bayaran, bahkan hanya untuk berkhutbah pada sholat jumat.
Dalam suatu tayangan media elektronik seorang pendeta bule mengatakan ,”Spirit tanpa bekerja adalah percuma.” Ini sesuai dengan kisah Nabi mencium tangan Muadz bin Saad ketika melihat tangan Muadz yang kasar akibat selalu bekerja keras. Dan Rosululloh mengatakan,” Inilah tangan yang disukai ALLOH.” Satu pertanyaan : Apakah dakwah adalah pekerjaan ? Tentu bukan. Dan sekali lagi saya tegaskan, bahwa dakwah adalah kewajiban setiap manusia yang mengaku dirinya Muslim. Dan bukan hak.
Saya sangat menyayangkan pernyataan ustadz pada no. 6 diatas. Yang mengatakan boleh menerima bayaran untuk kepentingan yang lebih besar. Sang Ustad mengatakan ini tanpa dalil sama sekali. Padahal kebenaran itu adalah kebenaran menurut ALLOH dan Rasulnya. Bukan pendapat pribadi. Karena pendapat pribadi sangat mungkin dipengaruhi hawa nafsu.
Sekarang pertanyaannya adalah, untuk kepentingan siapa ? apakah untuk kepentingan ustad itu sendiri yang telah terbiasa dan menikmati bayaran dari Al Quran dan hadits yang dia sampaikan kepada orang lain ? Ataukah kepentingan siapa ? Sekali lagi janganlah kita merasa lebih tahu, seolah olah kalau tidak dibayar, tidak akan ada yang mau dakwah, dan dakwah hanya akan jalan, jika ada bayaran. Ini anggapan yang salah. Karena Nabi SAW telah menjamin bahwa meski tidak dibayar, akan selalu ada orang yang berdakwah sesuai tuntunan Nabi, sesuai dengan sabda Rosululloh,”Dan akan tetap ada dari umatku segolongan yang tegak membela kebenaran (al-haq) dan mendapatkan pertolongan (dari ALLOH), mereka tak tergoyahkan oleh orang orang yang menyelisihi dan menghinakan mereka, sampai datang keputusan ALLOH yaitu kematian seluruh orang mukmin menjelang kiamat dengan datangnya angin yang mematikan seluruh orang mukmin.”(HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud dan Ibnu Majah). Dan jika apa yang dikatakan ustad tersebut memang benar bahwa ceramah agama untuk kepentingan yang lebih besar dengan mengajarkan Al Quran boleh dibayar, kenapa Rosululloh tidak pernah mengatakan hal ini ?
Sahabat Nabi, Ubay bin Kaab pernah diperingatkan Rasululloh. Pada suatu ketika aku mengajarkan Al-Quran kepada seseorang. Lalu ia menghadiahkan padaku sebuah busur panah. Ketika hal itu aku sampaikan kepada Nabi SAW, maka beliau bersabda,” Engkau telah mengambil satu busur dari neraka.” (HR. Abu Daud, Ibnu Majah) MasyaALLOH, menerima saja tidak boleh, apalagi meminta.
Hal serupa juga terjadi pada Ubadah bin Shamit. Ia meriwayatkan jawaban Rasululloh SAW kepadanya ,” Engkau telah mengalungkan api neraka diantara kedua pundakmu.” Dalam riwayat lain disebutkan ,” Jika kamu mau mengalungkan kalung api neraka dilehermu, maka ambilah pemberian itu.” Ini adalah peringatan yang sangat jelas dari Rasolulloh SAW bagi para kiai, ustad dan dai agar amanah dalam menjalankan tugasnya berdakwah. Bahwa menerima imbalan saja tidak diperbolehkan, apalagi meminta.
ALLOH SWT pun telah menggariskan dalam firman-Nya :
1. “ Katakanlah : Aku tidak meminta upah sedikitpun atas dakwahku.”(QS.Shaad: 86).
2. “ Hai kaumku, Aku tidak meminta upah kepadamu bagi seruanku ini. Upahku tidak lain hanyalah dari ALLOH yang telah menciptakanku. Maka tidakkah kamu memikirkan ?” (QS.Huud: 51)
3. “ Katakanlah: Aku tidak meminta upah sedikitpun kepadamu dalam menyampaikan risalah itu, melainkan orang- orang yang mau mengambil jalan kepada Tuhannya.” (QS.Al-Furqaan: 57)
4. “ Dan engkau tidak meminta imbalan apapun kepada mereka (terhadap seruan ini), sebab (seruanmu) itu adalah pengajaran bagi seluruh alam.” (QS. Yusuf:104)
Bisa kita lihat, adakah celah dalam firman ini yang memungkinkan para pendakwah menerima imbalan dari manusia ? Kecuali alasan yang dicari cari untuk kepentingannya sendiri ?
Jumhur Ulama juga berpendapat:” Jika seseorang mencari keuntungan dunia melalui agama, maka ia seperti orang yang membersihkan sandalnya dengan pipinya.” Dengan kata lain ia adalah orang yang bodoh, karena menukar akhirat dengan dunia yang sangat sedikit. Jadi, silahkan memikirkannya.
Dasar yang digunakan para kelompok penerima bayaran yaitu:
إن ﺃ ﺤﻕ ﻤﺎ ﺃ ﺨﺫ ﺘﻡ ﻋﻠﻴﻪ ﺃ ﺠﺭﺍ ﻜﺘﺎ ﺏ ﺍﻠﻠﻪ
(INNA AHAQQO MAA AKHODTUM ‘ALAIHI AJRON KITAABULLAH)
“Sesungguhnya Yang paling berhak ( paling benar ) kamu ambil pahalanya adalah Kitabulloh”, mengandung arti bahwa Al Quran adalah sumber pahala yang tidak akan pernah habis, maka ambilah sebanyak mungkin. Ada juga yang menerjemahkan,” Sesungguhnya upah yang paling benar kalian terima adalah kitabulloh”. Kalau kita fahami, dalil tersebut juga tidak menyebutkan imbalan berupa uang atau materi. Malah bisa difahami, upah yang dimaksud adalah upah untuk manusia sebagai khalifah yang ditugaskan ALLOH untuk mengatur bumi, diberi upah oleh ALLOH berupa Al-Quran yang notabene adalah cahaya, petunjuk dan pedoman bagi manusia untuk mencapai imbalan yang sebenarnya diakhirat kelak yakni kenikmatan surga yang abadi. Tapi lucunya hadits ini ditafsirkan oleh para penyuka honor menjadi ,” Sesungguhnya (pekerjaan) yang paling benar kamu ambil bayarannya adalah (mengajarkan) kitabulloh.” Padahal, tanpa ditafsirkan pun hadits ini telah jelas artinya.
Kemudian hadits,”Aku telah menikahkan kalian dengan mahar hafalan Quranmu”, juga tidak menyebutkan bahwa mahar hafalan Quran adalah sebagai pengganti uang atau materi. Justru bisa diartikan bahwa dalam keadaan terpaksa, mahar pernikahan boleh berupa sesuatu yang bukan uang atau materi. Mengingat hadits ini muncul disebabkan karena Laki- laki yang akan menikah pada waktu itu tidak memiliki apa- apa, kecuali hanya sarung dan baju yang dikenakan.
Dan riwayat lain yang menyebutkan bahwa Nabi membolehkan kaum musyrikin yang ditawan untuk menebus pembebasan dirinya dengan mengajarkan baca tulis, justru tidak bisa dijadikan dasar. Karena sudah jelas, kaum musyrikin tersebut tidak mengajarkan Al-Quran atau ilmu agama, tapi sebatas mengajarkan membaca dan menulis.
Jadi dalil- dalil yang dijadikan pijakan oleh kelompok yang membolehkan penceramah agama meminta dan/ atau menerima bayaran, sangat lemah dibandingkan dalil- dalil yang melarangnya. Bahkan mereka cenderung mengabaikan keterangan yang terdapat pada ayat- ayat Quran seperti telah disebutkan diatas. Bukankah kita lebih baik mengambil pijakan yang kuat daripada yang lemah, sehingga tidak ada keraguan untuk bersikap dan melakukan tindakan.
Terlebih lagi Nabi SAW sangat menyesalkan para ulama yang memperdagangkan ayat- ayat ALLOH ini. Karena umat yang mendukung dan mengikuti para ulama seperti ini akan ikut celaka karenanya. Sebagaimana sabda Nabi ,” Kecelakaan bagi umatku dari (perbuatan) ulama yang jelek. Mereka memperdagangkan ilmu ini, mereka menjualnya kepada penguasa dimasa mereka, dengan maksud untuk keuntungan diri sendiri. Semoga ALLOH tidak memberi keuntungan pada perdagangan mereka itu.” (HR. Hakim). Juga ada hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, Thabrani, Baihaqi dari Abdurrahman bin sybl, Nabi bersabda,” Bacalah Al-Quran, amalkanlah. Dan janganlah engkau kekeringan darinya, jangan terlalaikan darinya, janganlah makan dengannya dan jangan memperbanyak harta dengannya.” (Fiqhus Sunnah)
Sesungguhnya dakwah,ceramah, tausiah adalah salah satu bentuk lain dari shodaqoh. Jika orang yang bershodaqoh kemudian menerima bayaran atas shodaqohnya, apakah masih bisa disebut shodaqoh. Bukankah itu artinya mengambil kembali apa yang telah ia shodaqohkan ?
Wallahualam Bisawab. Demikian penulis yang bodoh ini berusaha mengingatkan, khususnya untuk diri penulis sendiri, umumnya bagi yang membaca tulisan ini. Kalau mau melaksanakan silahkan, tidak melaksanakan juga tidak apa- apa. Semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Amin
Kesimpulan yang bisa diambil adalah :
1. Bahwa Sekolah sekolah Islam yang megah dan mahal adalah sesungguhnya bukan sarana penyebar dakwah. Tetapi lebih kepada mencari keuntungan dengan dalih agama. Sekolah seperti inilah justru yang menghambat penyebaran dakwah Islam. Karena orang- orang Islam yang miskin tidak akan pernah mampu bersekolah ditempat tersebut. Sedangkan orang miskin itu jumlahnya jauh lebih banyak daripada orang kaya. Mungkin ada disediakan beasiswa bagi mereka yang miskin, tapi tentunya hanya sedikit, sekedar tidak disebut sekolah Islam khusus orang kaya.
2. Bahwa ALLOH dan Rasulnya melarang orang yang mengajarkan Al-Quran untuk menerima bayaran. Apalagi kalau sampai memintanya.
3. Dakwah yang diridloi ALLOH, yaitu dakwah seperti dicontohkan Nabi dan para sahabat, yang hanya didasari iman dan ikhlas semata tanpa melibatkan imbalan dari manusia, akan menghasilkan kader- kader yang militan dalam menjalankan syareat Islam, Teguh dalam pendirian dan ikhlas pula dalam menjalankan ilmu yang didapat. Mereka tidak akan mempertanyakan Al-Quran dan hadist masih sesuai dengan perkembangan zaman atau tidak. Mereka tidak akan meragukannya.
Sedangkan dakwah yang melibatkan bayaran didalamnya, hasilnya sudah bisa kita lihat sekarang. Islam yang hanya banyak dalam jumlah. Tapi mental Islamnya kerdil. Islam yang masih korupsi, suka bermegah- megah, dan tidak bisa membedakan lagi mana yang maksiat dan mana yang bukan. Pemimpin- pemimpin tidak sungguh- sungguh memikirkan rakyat dll. Apa yang bisa diharapkan dari dakwah seperti ini dan menghasilkan generasi seperti ini ?
4. Meski para Nabi dan sahabat berdakwah siang dan malam, tapi untuk nafkah mereka tetap bekerja dan tidak menjadikan dakwah sebagai alasan untuk tidak bekerja. Contohnya, Nabi Muhammad SAW menjadi pedagang, Nabi Isa dan Nabi Nuh menjadi tukang kayu, Nabi Daud menjadi pandai besi, Nabi Idris menjadi penjahit, Nabi Saleh menjadi pedagang, bahkan Nabi Sulaiman, manusia paling kaya di seluruh dunia, untuk nafkah beliau menganyam karung dan tikar. Kekayaan dan kekuasaannya digunakan hanya sebagai senjata dalam berdakwah semata. Tidak untuk bermegah- megah dan memamerkan kemegahannya.
5. Untuk kita sebagai umat Islam, berhati hatilah ketika mencari guru atau memanggil ulama untuk pengajian. Karena ulama yang memperdagangkan ilmu agama, akan turut mencelakakan umat yang mengikutinya.
6. Kisah nyata orang yang berdakwah tanpa bayaran. Adalah Almarhum KH. Muhamad Muslim, mantan kepala pengadilan agama di tangerang, sudah meninggal 26 tahun yang lalu. Pada tanggal 7 Agustus 2009, kuburannya digali karena terkena proyek pelebaran jalan. Dan Subhanalloh, ternyata jasadnya masih utuh dan masih lemas, seperti orang yang baru meninggal. Tidak membusuk apalagi bau. Ketika ditanyakan kepada orang- orang dekatnya mengenai amalannya semasa beliau masih hidup, dijawab bahwa beliau semasa masih hidup adalah penceramah agama yang tidak pernah mau menerima bayaran. Meski mungkin amalannya yang lain juga banyak, tapi paling tidak, itulah yang diinformasikan oleh ALLOH melalui orang- orang dekatnya.
Jadi masih kurangkah bukti bahwa sesungguhnya mengajarkan Al-Quran khususnya melalui ceramah, apalagi berkhutbah pada sholat Jumat, tidak pantas menerima bayaran ? Hanya Qolbu yang bisa menjawab.
Keterangan :
Tulisan ini tidak mencakup mengenai guru yang mengajar di sekolah atau madrasah, imam mesjid dan muadzin yang ditugaskan dan digaji oleh Negara atau baitulmal, Juga pengobatan yang menggunakan ayat Al Quran dalam metodenya. Mengenai hal ini Insya ALLOH akan dibahas pada kesempatan lain
Pendapat
“Sesungguhnya telah ada dalam diri Rasulullãh itu suri teladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang yang mengharap rahmat Allãh dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah,” (QS al-Ahzab [33]: 21).
Haram Berdakwah Minta Upah
Sahabat, salah satu kewajiban setiap Muslim yang diteladankan oleh Rasulullãh shallallãhu ‘alaihi wasallam adalah saling menasihati supaya menaati kebenaran dan saling menasihati supaya menetapi kesabaran (QS al-Ashr [103]: 3). Mendakwahkan Islam kepada orang lain, tanpa kekerasan, karena tidak ada paksaan dalam agama Islam (QS al-Baqarah [2]: 256), adalah juga kewajiban ibadah.
Kewajiban tersebut antara lain difirmankan Allãh dalam QS Ali ‘Imran [3]: 104: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf (baik) dan menyegah dari yang munkar (buruk); merekalah orang-orang yang beruntung.” Maka, berdakwahlah kepada kebajikan agar kita beruntung.
Rasulullãh shallallãhu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapa saja yang melihat kemungkaran hendaknya dia mengubah dengan tangannya. Jika dengan tangan tidak mampu, hendaklah dia ubah dengan lisannya; dan jika dengan lisan tidak mampu maka ubahlah dengan hatinya; dan ini adalah selemah-lemahnya iman,” (HR Muslim). Semoga kita bukan orang yang lemah imannya.
Dalam sebuah hadis sahih diriwayatkan, bahwa seorang sahabat bercerita dirinya dijamu beragam hidangan oleh kaum yang mendengar dakwahnya. Terhadap hal itu Rasulullãh shallallãhu ‘alaihi wasallam hanya tersenyum dan berkomentar: “Kamu senang?” Sahabat tersebut menjawab, “Iya ya Rasulullãh”. Namun, ketika sahabat tersebut bertanya tentang bolehkan dia menerima bingkisan dirham/uang/amplop/materi setelah berdakwah, Rasulullãh shallallãhu ‘alaihi wasallam bersabda dengan tegas: “Ambillah jika kamu ingin dijebloskan ke dalam Jahannam!”.
Namun, salah satu syarat utama untuk berdakwah adalah kita harus sudah melaksanakan apa yang kita dakwahkan itu sebagai nasihat kepada diri sendiri. Kenapa? Karena, “Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allãh bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan,” (QS ash-Shaff [61]: 2-3). Maksudnya, tidak boleh omong doang tanpa tindakan nyata.
Selain itu, setiap pendakwah juga haram meminta upah atas dakwahnya, loh! Allãh berfirman: “Atau kamu meminta upah kepada mereka sehingga mereka dibebani hutang?” (QS ath-Thûr [52]: 40). “Katakanlah : ‘Aku tidak meminta upah sedikit pun kepadamu atas dakwahku dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan. Al-Quran ini tidak lain hanyalah peringatan bagi semesta alam,” (QS Shãd [38]: 86-87). Lihatlah para pendakwah yang memakan uang haram dari hasil berdakwahnya. @ Antho M. Massardi
alikhlasmusholaku.top
#Gerakan saber donatur dan sebar takjil ramadhan 1438 H - 2017 M untuk ahli surga
Realisasi #Gerakan saber donatur dan sebar takjil ramadhan 1438 H - 2017 M untuk ahli surga
#Gerakan saber donatur dan sebar takjil ramadhan 1438 H - 2017 M untuk ahli surga
Realisasi #Gerakan saber donatur dan sebar takjil ramadhan 1438 H - 2017 M untuk ahli surga
Bagikan lewat WHATSAPP yuk !!!!!!!
Rasulullah SAW bersabda :"Barang siapa yang menyampaikan 1 (satu) ilmu saja dan ada orang yang mengamalkannya,maka walaupun yang menyampaikan sudah tiada (meninggal dunia), dia akan tetap memperoleh pahala." (HR. Al-Bukhari)
TETAPLAH MEMBERI NASEHAT, WALAUPUN ENGKAU SENDIRI BANYAK KEKURANGAN
✍🏻 Al-Imam Ibnu Rajab al-Hanbaly rahimahullah berkata:
لو لم يعظ إلا معصوم من الزلل، لم يعظ الناس بعد رسول الله صلى الله عليه وسلم أحد، لأنه لا عصمة لأحد بعده.
"Seandainya tidak boleh memberi nasehat kecuali seseorang yang terjaga (ma'shum) dari kekurangan, niscaya tidak akan ada seorang pun yang menasehati orang lain selain Rasulullah shallallahu alaihi was sallam, karena tidak ada yang ma'shum selain beliau."
Lathaiful Ma'arif, hlm. 19
Klik untuk link ke : alikhlasmusholaku.top #Konten Islami dari berbagai sumber #Islamic content from various sources #
Bagikan dengan cara klik tombol Facebook, twitter, Goggle+, Pinterest, Blogger, Email dibawah ini :
Bagikan dengan cara klik tombol Facebook, twitter, Goggle+, Pinterest, Blogger, Email dibawah ini :